Selasa, 05 Mei 2015

Jodoh Itu Sederhana

Selama ini kita seperti pecinta alam dan sutradara yang terlampau kreatif. Menerka dan membuka jalan, yang sebenarnya belum tentu diamini oleh semesta

Ada satu orang sahabat saya yang cuek setengah mati soal urusan cinta. Sampai ulang tahunnya yang ke-24 dia memegang trophy sebagai jomblo abadi. Isi hidupnya hanya kuliah, tetek-bengek organisasi, ikut penelitian dosen, kumpul-kumpul bersama kami, lalu belakangan ikut kursus pra nikah sesekali. Dengan statusnya yang masih sendiri.
Tapi anehnya sahabat saya ini tidak pernah merasa kekurangan. Di wajahnya selalu bisa kami temukan senyum bahagia, bahkan lebih tulus dari kami yang ditemani pacar ke mana-mana. Dia adalah orang yang berapi-api soal cita-cita. Tak harus dihadapkan pada kegalauan saat ngambek dengan pacar membuatnya bisa menghabiskan waktu untuk banyak menulis dan membaca.
Plot twist pun tiba. Saat kami masih galau soal pekerjaan pertama dan perkara membawa hubungan cinta ke arah mana — kami mendapat kabar bahwa jomblo abadi ini akan menikah dengan pria yang selama ini jadi kawan satu organisasinya. Akad akan dilakukan segera selepas lamaran, demi menghindari hal-hal yang keluar dari ajaran.
Geli rasanya. Kami yang sudah berinvestasi waktu pun perasaan dalam ikatan pacarab sekian lama justru belum berani mengikuti jejaknya. Menghadiri prosesi akadnya seperti membawa kaca ke depan muka:
Jika mau jujur sedikit saja, sebenarnya berapa banyak waktu kita yang sudah terbuang sia-sia?
Saat kami menghabiskan masa muda dengan meratapi sakit hati, dia justru bebas loncat dari satu organisasi ke lembaga kemasyarakatan yang menarik hati. Dia boleh jadi tak merasakan debaran saat bertukar rayuan manis dengan pacar, tapi justru kebebasannya langsung bisa bercumbu sepuas hati membuat kami sedikit gusar.
Ketika kami terlalu sibuk bertukar janji demi masa depan bersama, sahabat saya ini justru langsung berani menjalaninya — bersama pria pilihannya.

Berkaca dari banyak pengalaman ternyata yang dibutuhkan hanya kemantapan dan sedikit kenekatan. Membangun masa depan tak memerlukan keahlian yang dibiakkan dari pacaran

Seringkali kalkulasi manusia dan kalkulasi semesta berjalan di plaform yang berbeda. 1095 hari bersama tidak membawa kemantapan yang sudah ditunggu sekian lama. Kita masih sering memandang wajah orang yang sudah kita genggam tangannya bertahun-tahun lamanya, kemudian membayangkan apakah masa depan benar-benar layak dijalani bersamanya.
Hubungan yang sudah sempurna di mata orang-orang bisa kandas. Perasaan yang kuat ternyata bisa hilang. Bersisian sekian lama, menerka masa depan berdua ternyata tidak menjanjikan apa-apa. Jika memang tidak ada niatan baik untuk membawa hubungan ini ke arah selanjutnya.
Inilah kenapa kisah-kisah “bertemu-orang-yang-tepat” setelah putus dari pacaran bertahun-tahun bermunculan. Kenekatan kerap muncul setelah dikecewakan. Keinginan membangun komitmen ternyata perlu didorong oleh hati yang sudah lelah menghadapi perihnya kegagalan. Ibarat lari maraton panjang, selepas garis finish kita hanya ingin meregangkan otot yang tegang — dalam sebuah peristirahatan yang jauh dari kata menantang.
Ternyata keyakinan untuk bisa membangun masa depan bersama tidak membutuhkan training bertahun-tahun lamanya. Kita bisa mengeliminasi keharusan PDKT, ratusan kali kencan, dan episode drama yang jumlahnya melebihi jari tangan.
Dalam banyak kasus justru kemantapan itu datang setelah memantaskan diri sebagai pribadi — selepas dipertemukan dengan orang yang juga sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Jodoh toh bukan aljabar yang harus membuat kita sakit kepala. Bahkan prosesi peresmiannya berlangsung tak lebih dari hitungan menit saja

Bukankah tujuan akhir dari selalu ke mana-mana berdua adalah ucapan dalam satu hela nafas,
“Saya terima nikahnya!”
atau prosesi khidmat pemberkatan di gereja?
Lucu bukan, jika kita rela menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya demi prosesi yang berlangsung bahkan lebih singkat dari wisuda?
Semakin dewasa, setelah jadi saksi bagaimana kawan-kawan menemukan pasangan hidupnya — pandangan kita terhadap jodoh justru akan makin sederhana. Ini bukan lagi soal kencan ke mana, mematut diri dengan baju apa, sampai berapa lama sudah saling mendampingi dan memanggil sayang ke depan muka.
Jodoh ternyata tak lebih dari soal keberanian, kesiapan sebagai pribadi bertemu dengan peluang, keyakinan bahwa hidup tak lagi layak diperjuangkan sendirian. Konsep jodoh yang dengan jelas sudah disiapkan Tuhan sebenarnya tidak menuntut kita untuk galau menantikannya.
Toh dia pasti akan datang sendiri. Bukankah Tuhan tidak akan bermain-main dengan janji?
Kita-kita ini saja yang suka lebay mendramatisir suasana. Merasa paling merana jika belum menemukannya. Merasa hidup kurang sempurna jika belum bertemu pasangan yang bisa menggenapkan separuh jiwa. Padahal jika memang sudah waktunya, pintu jodoh itu akan terbuka dengan sendirinya. Mudah, sederhana, bahkan kadang tanpa banyak usaha.

Kalau memang bukan garisnya, diikat pakai batu akik pun, tak akan jadi jodoh kita seorang anak manusia. Jika memang begini hukumnya — haruskah kita galau dan bercemas diri lama-lama?

Pertunangan bisa gagal, khitbah bisa dibatalkan, pun resepsi bisa di-cancel beberapa jam sebelum perhelatan. Ikatan sebelum pernikahan (ternyata) tidak layak membuat kita merasa aman, pun bangga karena merasa sudah punya pasangan. Sebab ternyata tak ada yang bisa memberi jaminan.
Janji-janji manis yang sudah terucap sebelumya tidak akan berarti apa-apa sampai ada tanda sah di depan negara dan agama. Cincin berlian, atau bahkan batu akik yang sedang hits itu tak akan membantu apapun, jika memang jalan hidup berkata sebaliknya.
Daripada mencemaskan yang sudah tergariskan, mengapa kita tidak mengusahakan yang bisa diubah lewat usaha keras? Rejeki, pekerjaan, membuka kesempatan untuk kembali studi di luar negeri, sampai memutar otak demi membahagiakan orangtua yang sudah tak semandiri dulu lagi misalnya? Hal-hal itu lebih layak mengakuisisi ruang otak kita dibanding terus-terusan galau memikirkan pasangan yang sudah jelas dipersiapkan oleh yang Maha Kuasa.
Akan tiba masanya, ketika kita memandang orang yang tertidur dengan lelap di sisi kanan sembari mengulum senyum. Ternyata begini jalannya. Ternyata inilah jodoh kita yang telah disiapkan oleh semesta. Suatu hari, semua kecemasan yang memenuhi rongga kepala ini hanya akan jadi bahan tertawaan saja.
Bolehkah mulai sekarang kita berusaha lalu berserah saja? Sebab pada akhirnya, jodoh toh sebenarnya sederhana.

 


 


 


 

Aku belum ingin menikah jika aku belum mampu menjadi seorang Istri

Aku belum ingin menikah bukan karena aku sedang menutup diri, Bu. Hanya saja, aku belum menemukan lelaki tepat yang bisa menjadi imamku.

Aku masih muda ‘kan ibu? Ada banyak hal yang ingin aku rasakan, satu per satu ingin kuwujudkan cita-citaku. Bolehkah aku tidak memikirkan hal-hal yang berbau pernikahan dulu, Bu? Aku tahu Bu, dalam hatimu selalu ada keinginan untuk segera melihat kebahagiaanku, dan ibu berharap bisa sesegera mungkin aku bisa melihatku duduk berdampingan di pelaminan didampingi oleh lelaki yang tepat.
Lelaki tampan, bijaksana dan bertanggung jawab seperti ayah, yang sampai sekarang tidak pernah lelah menjadi pelindung kita. Aku mengerti keresahan hati ibu. Melihat teman-temanku sudah mempunyai pendamping hidup. Melihat teman-teman ibu sudah menggendong cucu, dan ibu masih selalu tersenyum dengan tulusnya ketika aku cerita kalau aku gagal lagi membina sebuah hubungan.
Bukan berarti aku egois dengan apa yang terjadi padaku, Ibuku sayang. Tapi maukah ibu menunggu sebentar? Aku tak ingin gegabah mengambil keputusan untuk menikah. Aku tak ingin terburu-buru menikah karena melihat satu per satu teman-temanku sudah menikah, dan aku memang belum menemukan sosok lelaki yang bisa menjadi imamku kelak. Tak usah Ibu khawatir. Percayalah Bu, bahwa kelak akan ada lelaki hebat yang akan kukenalkan pada Ibu.

Lagipula, aku masih ingin menikmati kegilaanku bersama sahabat-sahabatku. Bolehkah jika aku masih ingin berpuas-puas menikmati masa lajangku ini, Bu?

Sahabat bagiku adalah orang-orang yang selalu menghiburku baik di kala duka maupun suka. Tapi tenang saja Bu, Ibu tetap nomor satu dari sekian banyak hal yang menjadi alasan aku untuk bahagia. Karena itulah Bu, aku meminta izin padamu, bolehkah aku punya waktu lebih lama yang kuhabiskan bersama teman-teman? Setiap aku bersama mereka, sejenak aku bisa melupakan keletihanku karena kegiatan yang banyak menyita waktu.
Jangan kau marah Ibu, karena sesungguhnya waktu yang kuhabiskan bersama mereka tak sebanding dengan waktu yang aku habiskan bersama Ibu. Ibu selalu menegurku saat aku lupa waktu karena terlalu banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Sampai terkadang adu mulut dengan ibu jadi tidak terelakkan. Maafkan aku ibu, bukan berarti aku tidak menghormatimu. Aku tahu ibu melakukan semua ini karena ibu khawatir padaku.
Mungkin ibu khawatir dengan setiap waktu yang kuhabiskan dengan temanku hanya sia-sia belaka. Atau mungkin ibu juga khawatir aku “kebablasan” bergaul dengan teman-temanku. Tenang ibu, setiap kali aku mau melakukan sesuatu, tidak pernah sedetikpun aku melewatkan semua nasihat-nasihat Ibu.
Karena saat aku sudah menjadi istri nanti, aku tak lagi bisa sebebas ini, Bu. Aku sadari akan hal itu. Diam-diam aku memperhatikan para pengantin baru, aku mendengar cerita dari Ibu, tentang bagaimana menjadi seorang istri yang baik. Aku harus patuh dengan suamiku, aku harus mendahulukan kepentingan rumah tangggaku di atas keinginan pribadiku.
Saat aku menikah nanti, aku pasti masih bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatku, namun porsinya akan jauh lebih sedikit. Jika biasanya akau hanya butuh izin dari ibu dan ayah untuk bermain dengan sahaba-sahabatku, nantinya aku harus menunggu izin dari suamiku, dan pastinya aku juga harus memenuhi kewajibanku sebagai istri terlebih dahulu. Aku belum siap untuk itu, Bu.

Jangan resah jika ibu melihatku melakukan apapun seorang diri. Percayalah, anak gadismu ini sekarang sudah menjadi wanita tangguh yang mandiri.

Banyak yang bilang kalau aku itu wonder women lho, Bu. Tahu ‘kan Bu wonder women itu artinya apa? Itu julukan pada wanita hebat yang jarang mengeluh dengan setiap keadaan. Wanita yang kembali bangkit setiap kali jatuh.
Anak gadis ibu yang dulu ibu timang-timang, sekarang telah berubuah menjadi wanita tangguh dan mandri. Tenang bu, meskipun begitu aku tidak melupakan kodratku sebagai wanita kok. Aku tetap seorang wanita yang perlu tempat untuk berlindung. Seperti ibu yang berlindung disamping ayah.
Aku masih bisa pergi sendiri, makan sendiri, ke mall sendiri, bahkan yang paling ekstrim pergi ke kondangan teman juga sendirian. Dan sampai sekarang aku masih baik-baik saja kok, Bu.
Bukan berarti karena aku masih sendiri, aku tidak bisa melakukan banyak hal seperti pasangan-pasangan itu, Bu. Aku belajar mandiri berkat ibu ‘kan? Ibu dan ayah selalu mengajariku untuk menjadi perempuan hebat dan tangguh, tak mudah bergantung pada orang lain. Meskipun terkadang tidak jarang juga aku menangis di hadapanmu, tapi bukan berarti aku lemah bu, itu karena bagiku engkau tempat aku mencurahkan semuanya.
Tak kupungkiri, aku pun mendambakan seorang pendamping yang bisa menjadi penopangku nanti bu. Aku pun ingin memiliki pendamping yang bisa menjadi tempat berbagi hati, cerita, suka, dan duka. Tapi aku masih ingin menikmati kemandirianku sejenak, bu. Tak salah ‘kan jika aku ingin merasakan hidup sebagai perempuan yang mandiri?

Sungguh aku pun ingin membina keluarga dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Namun, aku juga masih ingin menggeluti karir yang selama ini aku impikan, Bu.

Aku juga tidak ingin berakhir menjadi wanita karir yang lupa kapan aku harus mengakhiri masa lajang. Aku tidak berpikir seperti itu ibu, keinginan untuk membina rumah tangga dan menjad seorang ibu itu selalu tetap ada.
Tapi, pekerjaan ini seolah menghiburku. Pekerjaan ini menjadi pengalih perhatianku dari hal-hal semacam itu. Pekerjaanku memang belum bisa menjadikanku jutawan, tapi karena pekerjaan ini aku jadi berharga di mata ibu, keluarga, dan masyarakat. Pekerjaan ini adalah yang aku inginkan semenjak aku duduk di bangku kuliah dan mati-matian meraih gelar sarjanaku.
Maka, izinkan aku Bu untuk sejenak menggeluti lebih dalam lagi pekerjaanku ini. Aku ingin mengembangkan lagi kemampuanku, aku masih haus banyak pengalaman, dan aku masih ingin banyak berkarya lagi.Sedang pekerjaanku ni tak memungkinkan bagiku lagi jika aku harus menikah saat ini.
Meskipun penghasilannya tidak seberapa dan mungkin aku hanya bisa membelikan ibu dan ayah selembar kain batik, tapi aku merasa hidup sebagai manusia di tempat ini, Bu.. Maaf ya Ibu, aju belum bisa membelikan perhiasan mahal untukmu. Tunggulah sebentar lagi, mungkin aku bisa membelikannya untuk ibu. Asalkan ibu tidak selalu menanyakan kapan aku menikah, Hehehe…

Lagipula Bu, aku masih ingin bermanja-manja dan menghabiskan waktu bersamamu ibu. Sebelum nanti aku harus pergi meninggalkan rumah untuk ikut suami.

Ibu pasti tahu ‘kan kalau aku sudah menikah kemudian aku tidak lagi tinggal bersamamu lagi? Ibu juga pasti tahu kalau suatu saat nanti aku akan meninggalkan ibu dan ayah, dan pindah untuk bermukim mengikuti suami? Mungkin nanti aku akan berkunjung kerumah ibu satu minggu sekali, satu bulan sekali, atau bahkan satu tahun sekali ibu. Demi apapun, aku belum siap untuk menjalani hal itu, Bu.
Aku masih ingin menjadi putri kecil ibu yang merajuk manja di dalam pelukanmu. Aku masih ingin menjadi gadis kecil ibu yang diam-diam keluar malam untuk jajan kudapan malam di depan rumah. Aku masih ingin menikmati masakan ibu saat aku pulang. Aku masih ingin mendengar omelan-omelan ibu saat aku malas bersih-bersih rumah. Dan aku masih ingin merasakan hangatnya rumah ini lebih lama lagi, Bu.
Untuk itu, betapa aku masih ingin menghabiskan waktu bersama ibu dan ayah. Merawat engkau dan ayah selagi sakit, belajar memasak, belajar menjadi peran sepertimu di rumah kita yang sederhana ini. Ajari aku Bu sebelum nantinya aku beralih peran dari seorang gadis kecil yang manja menjadi seorang ibu sepertimu.

Janganlah resah ibuku, pasti suatu saat nanti aku akan menemukan sesosok lelaki bertanggung jawab yang kelak akan menggantikan tugasmu dan ayah dalam menjagaku.

Jangan khawatir, Bu. Dia jodohku pasti orang terbaik yang dipilihkan olehNya karena apa? Karena Tuhan tahu, bahwa orang terbaik yang menjagaku sampai sekarang adalah ayah dan ibu terbaik di dunia dan karena itulah Tuhan pasti mengirimkan seseorang terbaik juga.
Jangan pula khawatir aku akan jadi perawan tua, Bu. Aku percaya jika aku akan bertemu dengan jodohku nanti di waktu dan momen yang tepat. Bukan terburu-buru ataupun terlambat, kapanpun itu aku percaya bahwa itu adalah rencana yang telah diatur oleh Sang Maha Kuasa.
Jangan khawatir dengan bisik-bisik tetangga, tentang aku yang saat ini belum juga juga menikah, Bu. Jodohku bukan di tangan mereka,  pun bukan mereka yang akan menjalani rumah tanggaku nanti. Percayalah Bu, diam-diam aku pun sedang memantaskan diri. Diam-diam aku sedang mempersiapkan diri dan juga berusaha lewat doa-doa yang selalu kulantunkan di setiap sujudku pada-Nya. Tak usah ibu khawatir, karena suatu hari nanti aku akan memperkenalkan lelaki pilihanku, yang terbaik, yang akan menggantikan tugasmu untuk menjagaku.

 

 Ibu Bersabarlah... karena aku menunggu kekasih halalku datang menjemputku..

 


Senin, 04 Mei 2015

Hadiah Untuk seorang Istri

CATATAN UNTUK SEORANG ISTRI
Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan kamu belum tentu mencintainya seumur hidupmu. Justru sering kali rasa cintanya padamu lebih besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.
Suami dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah-ibunya hingga dia beranjak dewasa. Tetapi sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad untuk menanggung nafkah seorang istri, perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan tali pernikahan tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.
Suami rela menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan dan merawat anak-anakmu serta dirimu sebelum dia mampu membalas untuk merawat ayah-ibunya yang telah mengurus suamimu sejak kecil tanpa pamrih.
Padahal dia tahu, di sisi ALLAH, engkau lebih harus dihormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya. Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripada dirinya sendiri di sisi Alloh.
Bahkan ketika sudah mati, suami pun masih harus bertanggung jawab atas dirimu dan anak-anakmu. Apakah dia sudah memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangganya?
Sangat besar pengorbanan suami, begitu banyak waktu yang diluangkan untukmu. Oleh sebab itu, berilah dia kesempatan untuk berbakti dan membalas jasa kepada orangtuanya. Karena sesungguhnya dia sedang mengajarkan kepada anak-anakmu agar tetap berbakti dan sayang serta tetap dekat denganmu meski sudah berumah tangga.
Terjadinya konflik antara mertua dan menantu sering kali disebabkan sang mertua merasa anak laki-lakinya seperti orang asing, tidak perhatian dan tidak sayang lagi setelah menikah. Dan itu semua gara-gara kamu.